Ketika hari demi hari menjadi terik kemudian hujan
..
Angin menjadi bingung memilih membawa udara hangat
atau dingin..
Ketika setiap pagi selalu berganti siang, begitu
juga sore yang berganti malam..
Bayangan matahari yang terus menerus muncul dan
hilang.
Sosok itu bagaikan terlelap dari penghujung awan.
Sosok periang yang gemar membuat orang tersenyum
itu memudar.
Bahkan kadang seperti menghindar.
Mungkin salah bila langsung aku ajukan maksud dan
tujuanku.
Mungkin aku terlalu berterus terang.
Mungkin juga salah aku tak memayungkan perasaannya
ketika dia mulai merasakan bahagia.
Tapi, aku tak ingin seperti orang yang terus
menerus mengajukan hipotesa tanpa melakukan penelitian.
Ingin ku tanyakan pada dinding yang selalu
melihat gerak-geriknya, namun tak mungkin.
Ingin ku tanyakan pada tanah yang menjadi saksi
bisu ya, namun tak kunjung mungkin.
Ingin ku tanyakan pada hatinya, namun itu sangat
tak mungkin.
Jujur, sebenarnya hujan dingin yang menemani setiap
sore hari adalah air mataku.
Yang tak kunjung meredup meski malam telah
merekahkan bulannya.
Yang terlalu lelah untuk membasmi pikiran buruk
tentangnya .
10 april 2012
Ya, sore itu saya memang sedang
memikirkannya. Entah lah akhir-akhir ini sosok itu menjadi idola untuk saya
pikirkan di setiap sore. Berawal dari sebuah ketidak sengajaan yang tidak
pernah terfikir oleh saya. Bahkan dulu saya takut untuk dekat dengannya. Sebut saja
dia Afro. Saya mengenalnya saat pertama kali kumpul satu departemen di
gymnasium. Ketika itu saya sedang melaksanakan masa perkenalan fakultas dan
harus memilih calon ketua angkatan untuk satu fakultas dari masing-masing
departemen. Saat itu juga, saya sedang mencari teman satu dosen pembimbing, saya
hanya mengenal Tiara, satu dari dua orang teman satu dosen pembimbingsaya. Saya
berkata pada Tiara bahwa saya belum mengetahui siapa orang satu orang lagi.
Setelah pemilihan calon ketua angkatan dari departemen kami (yang saya tidak fokus
pada pembicaraan itu karena terlalu sibuk untuk mencari kenalan baru), akhirnya Tiara mengenalkan saya padanya.
“arra ..” kenal saya singkat.
“panggil aje afro” kami berjabat
tangan.
Kesan pertama ketika melihatnya
adalah orang yang kurang rapih, menyeramkan karena kulitnya agak hitam, rambut
yang keriting lumayan lebat, berjenggot seperti bapak-bapak dan berbadan besar.
Saya langsung menciutkan hati saya. Saat itu saya refleks berfikir, “yah.. gue
pikir ganteng kan enak punya temen se-PA yg ganteng, kok ini malah serem sih”
haha. Agak miris juga bila dia tau kesan pertama saya ini. Perkenalan singkat
itu pun berakhir dengan saling bertukar nomor handphone (dan itu adalah nomor
handphone laki-laki pertama di departemen yang saya punya).
Kami bertiga terus melakukan
kontak dengan dosen kami untuk berkenalan dan meminta saran tentang mata kuliah
apa saja yang akan diambil saat masuk departemen. Pertemuan kedua pun
berlangsung jam 9 di depan ruangan Bu dosen. Namun, masalahnya saat itu adalah
sang Bu dosen sangat sulit di hubungi. Hingga kami bertiga putuskan untuk
menunggu di depan ruangannya. Menunggu bukanlah pekerjaan yang mudah. Karena baru
saja kami kenal maka obrolan pertama kali sangatlah cangggung. Afro bukan tipe
orang yang seperti itu. Dia sangat aktif untuk bertanya, terutama pada saya.
Dia menanyakan semua yang dia ingin tau tentang saya. Saat itu pikiran saya
mengatakan bahwa mungkin afro menemukan titik ketertarikan pada saya (bukan
maksud GR atau apa ya, tapi saat itu keadaannya adalah Tiara bertubuh sedikit
berisi sedangkan saya kecil mungil mana yang lebih menarik perhatian laki-laki?).
Saya seorang yang sedang takut untuk merasakan cinta lagi. Saya sedang menutup
diri kala itu. Maka, semua jawaban yang saya berikan padanya hanyalah
jawaban-jawaban singkat sekenanya. Namun dia tak kunjung menyerah dia tetap
bertanya terus kepada saya sampai akhir perjumpaan kami dengan Bu dosen. Saya
ingat pernah saya dan Afro ingin mengikuti seleksi beasiswa. Memang saya yang
mengajaknya ikut beasiswa ini. Kami mengurus berkas-berkas kami bersama (bukan
hanya kami berdua tapi dengan teman-teman yang lain), menemui Bu dosen kembali
untuk meminta surat rekomendasi. Saya menyuruhnya untuk menyiapkan kartu
keluarga, IPK terakhir dan berkas penting lainnya. Karena saya tipe orang yang
ingin segala sesuatunya rapih, maka saya rapihkan juga berkasnya. Guyonan Afro
yang tak pernah habis pikir ketika itu, dia meminta kapan kami berdua mempunyai
Kartu Keluarga yang sama, haha saya tertawa keras setelah mendengarnya, jawaban
saya pada guyonan itu adalah “ Masa iya, gue jadi kakak lo. Males banget gue.”
Karena saat itu saya tahu Afro sedang berulang tahun yang ke 19 sedangkan saya
sudah setengah bulan menjalani umur tersebut. Padahl maksudnya adalah "kapan kita berdua menjadi suami dan istri sehingga mempunyai Kartu Keluarga bersama" haha. Lalu, obrolan kami berlanjut sampai
sms, namun sms itu tak sering hanya ketika ada urusan penting saja, ketika Afro
melanjutkan ke hal-hal yang keluar dari konteks maka saya menyudahinya. Saya
adalah tipe wanita yang tidak suka dengan kondisi seperti di kejar-kejar fans.
Karena itu, saya memutuskan untuk tidak lagi ingin berhubungan dengannya.
Setelah selesai urusan saya dengan Bu dosen, maka selesai juga lah hubungan saya
dengannya.
Saya sempat berbincang ringan
dengan kedua sahabat saya Gusti dan Fia tentang keanehan Afro yang suka melakukan
hal “aneh” kepada saya, seperti menanyakan sudah makan belum, menggoda dengan
cengan maut dan keanehan lainnya. “Mungkin dia suka sama kamu” itu menurut Gusti. “Kayaknya si Afro jadi pengen deket kamu gitu deh” Fia menambahkan
yang semula membuat bulu kuduk saya berdiri. Merinding. Jujur, saya bilang pada
mereka, saya sudah tak ingin merasakan hal tentang cinta lagi dan saya menutup
diri.
Sudah berkali-kali saya
menghindar untuk dekat dengannya, tapi ada saja kejadian yang membuat saya
harus lagi-lagi bersamanya. Dari hal sepele menjadi manajer futsal kelas untuk
acara departemen (dan acaranya gagal di laksanakan). Saat itu Afro menjadi PJ
untuk latihan futsal. Dari dia menjarkom latihan, dari situ kami dekat kembali.
Tapi perasaan untuk menghindar itu sudah tak bersemayam lagi, karena dia tampak
biasa saja. Ternyata dia memang dengan mudah membuat para perempuan terbang
melayang dengan kata-katanya. Maka saya putuskan untuk menjadi biasa saja
karena dia juga seperti itu pada saya (tak sejail yang dulu). Namun itu menjadi
berbeda ketika kemudian saya dan dia berada pada satu kloter saat puncak
Belantara (Masa Perkenalan Departemen). Di saat saya benar-benar merasakan saya
lemah dan tak sanggup, saya memilih untuk berjalan di dekatnya, terlihat
kerutan diwajahnya berubah menjadi sunggingan bahagia melihat saya berpindah
kebelakang. Tanah licin dan hujan deras itu membantu kaitan tangan kami
bertambah erat. Di tengah kepenatan dia selalu berusaha membuat semangat itu
bangkit. Sedikit guyonan saat itu adalah dia berusaha untuk terus menggenggam
tangan mungil saya dan mencolek-coleknya dengan jari telunjuknya (hal yang
sering ayah saya lakukan dulu ketika saya tak bersemangat). Ya, hujan deras
yang membuat saya berfikir bahwa saya hanya sendiri, hidup ini harus di jalani
sendiri. Namun genggamannya membuat saya sadar. Tak selamanya kita itu sendiri, karena orang lain itu di
ciptakan untuk menemani dan menjalani sebuah sistem.
Hal yang paling membuat saya
terenyuh saat Belantara itu adalah ketika puncak tracking, dia memisahkan diri
dari rombongan yang telah lama berendam
di dalam kolam lumpur dan di siram derasnya air hujan (saya tidak ikut berendam
karena saya mempunyai asma) dan membantu saya berjalan karena kaki saya
bermasalah (red: keram). Afro sangat baik, tapi mungkin dia pun akan seperti
itu ketika bersama yang lain. Haha. Itu lah awal dari saya merasakan perasaan
yang lain terhadapnya. Inginnya saya anggap dia lebih dari seorang teman biasa.
Seperti saya dan Rizky Gozali Pratama. Seorang sahabat yang sangat baik dan ada
di saat saya bahagia dan di saat saya lemah.
Setiap malam, saat insomnia saya
kambuh. Saya akan mengalihkan insomnia saya ini dengan membuka beberapa situs
jejaring sosial seperti Twitter dan Facebook. Afro selalu muncul ketika itu.
Menghibur ketika saya sedang ingin menangis. Mengajak saya ke dalam
perbincangan ringan. Entah, tiba-tiba saya merasa kenyamanan disana. Seperti
menemukan sesuatu yang selama ini saya cari. Kami terus membincangkan hal-hal
yang berkaitan tentang sebuah masa depan. Bukan tentang sebuah komitmen tapi
sebuah kepercayaan tentang perubahan hidup yang di tunjukan melalui perbuatan
nyata. Semangat dia yang membara, itu yang membuat saya sedikit kagum dengan
sesosok Afro.
Sekarang saya dan dia pun masih terikat
dalam suatu kumpulan tim (entah resmi atau tidak) futsal, dan saya di tunjuk untuk
menjadi manajer (padahal saya tidak mengerti apa-apa tentang futsal dan saya pun
gabut kadang pernah tidak datang saat mereka tanding T.T). Afro selalu memberikan senyuman yang hangat ke
orang-orang sekitarnya. Ketika dia sakit atau syok, maka orang lain di
sekitarnya akan merasakan itu termasuk saya. Kesepian itu menyeruak ketika dia
sakit. Dan saya menjadi sedikit perhatian kepada Afro. Tapi mungkin cara saya
yang perhatian itu membuat dia kaget dan merasa aneh. Karena setelah kejadian
tersebut dia seperti menghindar dari saya. Dan saya merasakan kesepian itu
kembali. Mencoba sebiasa mungkin dan seperti dulu lagi, meski itu sangat sulit
untuk mengendalikan perasaan yang sudah telanjur tumbuh.
Saya jadi ingat dengan kata-kata ibu ketika
saya menunjukan foto Afro. “Tumben mba, kamu sukanya sama yang kayak gini” dan
itu yang membuat saya sadar kalau sekarang ini, cinta itu memang benar-benar
datang secara tiba-tiba. Tak perlu melihatnya secara fisik, tak perlu
melihatnya secara sebelah mata. Tapi lihat dia secara menyeluruh. Lihat dari
hatinya. Karena seorang Afro pun meski bermuka sangar tapi jiwanya lembut dan
sangat mencintai ibunya. Sosoknya yang mencintai ibunya menyadarkan saya yang
terkadang lupa bagaimana harus berterimakasih pada ibu. Sesosok Afro telah
menyadarkan saya tentang seorang ibu yang telah membesarkan saya. Setiap
weekend dia selalu sempat menanyakan saya, “Lan, lu pulang kagak?” dan
itu membuat saya miris.
Saya adalah sosok yang sangat cuek dengan
rumah. Terutama dengan ibu. Yang membuat saya tersadar dari ceritanya adalah,
ketika ibunya (Afro) mengirimkan sms, yang berisikan “kapan pulang?” secara
reflek dan cepat dia langsung menelpon balik ibunya. Ah, saya suka dengan sosok
lelaki yang begitu menyayangi ibunya. Apalagi setelah kepergian ayahnya saat
umurnya masih 16 tahun. Itu lebih membuatnya menjadi seorang lelaki yang sangat
dewasa (meski sebenarnya saya berumur lebih tua darinya).
Sebuah cerita ini sebenarnya hanya sebuah
ungkapan kecil dari seorang penjaga hati yang menyedihkan. Dan karena sebuah
kenyamanan itu harus di cari bukan datang dengan sendirinya. Dan saya sangat
berterima kasih karena di dalam hidup saya Afro telah sempat memberikan
pelajaran-pelajaran berharga tentang perihnya kehidupan. Saya harap Afro tak
pernah merasa terganggu dengan kehadiran saya sebagai teman. Sebagai orang yang
pernah sempat mengabaikan kehadirannya. Dan sebagai sahabat untuk berbagi.
Berawal dari gymnasium dan masih di dalam gymnasium (karena saya masih menjabat
sebagai manajer tim futsal). Saya sangat mengagumi sosok Afro yang dengan
mudah bergaul dengan orang lain. Mudah untuk menyamakan pembicaraan dengan orang lain.
Berpengetahuan luas. Berani mengambil segala kemungkinan resiko dari sebuah
pilihan. Bertanggung jawab atas semua yang telah dia pilih. Bisa membagi waktu
dengan baik. Fokus pada apa yang telah dijadikan pilihannya. Cepat tanggap. Afro
begitu sanggup melihat kekurangan orang lain dan mampu menerima kekurangan dirinya
sendiri. Afro sosok yang dapat membuat semangat bangkit kembali bila berada di
dekatnya, berada di sekitarnya. Yang paling membuat kagum adalah sosok Afro
yang sangat peduli dengan keluarga dan orang-orang di sekelilingnya yang sangat
ia sayangi. Ketika memilih Afro untuk menjadi idola di hati saya, saya
benar-benar percaya ketika cinta itu datang benar-benar dengan cara yang tiba-tiba dan untuk siapa saja termasuk cinta untuk sahabat.
Untuk Afro
Bulan itu lebih terang dari biasanya.
Terlihat membulat dan tersenyum.
Apa kau yakin tentang kejadian yang membuat senyummu tak pernah terpadamkan?
Besar kemungkinan kau akan tersandung sedikit dan menyadari bahwa itu bukan kenyataan.
Awan itu bergerak lebih perlahan dari biasanya..
Menuntun bulan untuk tampak lebih menawan dari yang lainnya.
Cantiknya harimu membuat kau sedikit terlalu percaya diri.
Ingatkah kau bahwa semua itu akan kembali pada pemiliknya?
Berhenti melangkahkan kaki lalu terdiam.
Angin pun berhembus lembut.
Meniupkan sepoyan yang dapat membuat mata terpejam.
Dan dalam sekejap melupakan apa yang sedang terjadi.
Terflash back tentang suatu kejadian yang sudah tertendang jauh.
Tiba-tiba angin menusukkan diri kedalam tulang rusuk yang membuat respon syaraf berjalan sangat cepat.
Matamu langsung terbuka.
Melihat gelapnya malam ini masih meremang.
Tak begitu mencekam dan tak juga terang..
Malam ini cuaca mendekati romantisme.
Keromantisan yang tertutupi oleh sebuah kebohongan dan kesandiwaraan.
Kau tak begitu pintar untuk jujur dalam cinta.
Bahkan telah melupakan bagaimana cara mencintai.
Sedikit menghela nafas, menatap bintang-bintang yang enggan menampakkan dirinya.
Kadang memang sebuah kepastian itu mengganggu dengan cobaan untuk mengubahnya.
Mempertahankan apa yang telah di tetapkan itu lebih sulit dari apapun.
Angin masih bertiup lembut.
Selembut tersedianya hati yang tak ingin kedatangan segala yang meragukan.
Perlahan tapi pasti.
Melanjutkan langkah adalah satu keharusan yang tak dapat terpisahkan.
Langkah diam menuju hati penuh cinta karena mencintai ALLAH SWT dengan IKHLAS.
02:37
7 april 2012
Di atas kasur pink saya dan di iringi lagu This I Promise You - Nsync
No comments:
Post a Comment